Konflik Gaza juga merambah di media sosial. Ini persaingan dalam menarik perhatian publik, dengan menampilkan gambar anak-anak yang tewas dan kehancuran via Twitter dan Facebook.
Ebaa Rezeq menjelaskan, bahwa ia selalu membuka jendela jika ia
mengirim berita singkat lewat Twitter tentang perang yang terjadi. Agar jika
roket mendarat di sebelah rumahnya atau ada bom yang meledak, ia tidak sampai
terkena pecahannya.
Tapi di jendela yang tertutup pun, bunyi ledakan terus
terdengar. "Kami di sini tinggal di neraka, biar dunia mengetahui hal
itu," katanya.
Oleh karena itu mahasiswi tersebut mengirim berita lewat
Twitter sepanjang hari. Mengenai ledakan-ledakan, korban tewas dan bangunan-bangunan
yang hancur. Sebelum ia keluar rumah, ia melihat ke Twitter, di mana yang baru
ditembaki. Sering, kata Ebaa, warga Israel, yang disebutnya „ekstremis Zionis“
mengirimnya ancaman. „Makian mereka sungguh pedas,“ katanya. Meskipun demikian,
atau justru karena itu ia terus melakukannya.
Sebuah Perang Propaganda
"Perang Twitter“ adalah menyangkut propaganda dan
interpretasi istimewa. Ini perang di mana gambar-gambar bangunan yang hancur
dan korban anak-anak dari kedua belah pihak dipublikasikan, seperti misalnya
gambar jurnalis BBC Jihad Misharawi sedang menangis sambil membopong jenazah
anak laki-lakinya yang berusia 11 bulan yang ditutup kain kafan putih. Foto itu
di-tweet ke seluruh dunia, dan segera menjadi topik pemberitaan pers
internasional.
"Militer Israel dan Palestina mencoba memperoleh dukungan
internasional lewat media sosial,“ kat Ula Ppapjak dari Technische Universität
Berlin. Jadi tidak heran, jika banyak Tweets ditulis dalam Bahasa Inggris.
Juga militer Israel (Israel Defense Forces disingkat IDF)
mengumumkan serangannya terhadap Gaza melalui akun Twitter-nya
(@IDFSpokesperson), dan baru sesudahnya menggelar konferensi pers seperti
tradisi yang lazim. Tidak lama kemudian disusul peringatan kepada semua anggota
Hamas „agar dalam beberapa hari mendatang tidak menampakkan wajahnya di atas
bumi.“ Segera setelah itu menyusul jawaban dari Brigade Al-Kassam Hamas
(@AlwassamBrigade): „Tangan-tangan kami yang suci akan menemukan pemimpin dan
tentara-tentara kalian, terserah di mana pun.“
Aktualisasi Perang Setiap Menit
Screenshot Tweet Gaza
Kedua pihak mengirim berita via Twitter tanpa terhenti, juga
seperti ratusan warga Palestina dan Israel. Setiap menit ada aktualisasi perang
dari Gaza, tapi juga dari bunker perlindungan udara di Tel Aviv, di mana semua
anggota keluarga bersembunyi dan mengirim video kecemasannya lewat YouTube.
Kini bahkan sudah sedemikian jauh, sehingga militer Israel IDF
memperingatkan penduduk Israel untuk tidak memberikan keterangan yang rinci
mengenai serangan roket dari Gaza. "Itu akhirnya menjadi
informasi-informasi yang dapat menguntungkan Hamas,“ kata Gabriel Weinmann,
pakar media dari Universitas Haifa. Mereka dapat memanfaatkan informasi
tersebut, misalnya untuk memperbaiki kuota ketepatan mendarat roket.
Dukungan Hacker dari Seluruh Dunia
Namun perang virtual bukan perang yang seimbang. „Israel lebih
terorganisir, mereka punya mesin propaganda yang benar dengan petugas dan masih
banyak hal lain yang dibutuhkannya,“ kata Asaad Thebian, pakar media Libanon.
Warga Palestina harus mengandalkan dirinya sendiri.
Ebaa menuturkan, setiap 8 jam, listrik diputus. Jadi ia harus
mengirimkan berita lewat ponsel ke Twitter. “Hubungan ponsel begitu lambat,
bukan hal yang mudah.” Meskipun demikian ia mengirimkan sebanyak mungkin Tweets
sebisanya, kadang pada hari-hari tertentu sampai ratusan, kata Ebaa.
Jika listrik padam, yang lain yang mengambil alih perang, antara
lain hacker dari Arab Saudi atau Libanon, kata Weinmann. Baru Senin (19/11)
hacker mencoba menyerang jaringan internet universitasnya, kata pakar media
Universitas Haifa tersebut dengan tenang. Ia sudah terbiasa dengan itu.
"Segera bila di sini terjadi perang, selalu banyak upaya para hacker untuk
menyerang situs, menyebarkan informasi-informasi yang salah, dan sebagainya.“
Informasi yang Salah lewat Twitter
Informasi-informasi salah juga disebarluaskan lewat Twitter dan
Facebook, misalnya tentang gambar anak-anak yang tewas, yang sebenarnya berasal
dari Suriah. Hal itu membuat Ebaa marah. “Kami seharusnya menjaga kebenaran,
jika tidak, tak ada lagi yang percaya pada kami.“ Juga Ulla Papajak menekankan,
bahwa gambar-gambar dan informasi-informasi harus dikaji benar-benar, meskipun
seringkali waktu untuk itu tidak ada.
Tapi di antara ledakan, tembakan dan banjir aktualisasi berita
di Twitter, mengetahui kebenaran yang sebenarnya tidak mudah, diakui Ebaa.
„Sebetulnya tidak ada yang tahu pasti, apa yang benar-benar terjadi.“ Meskipun
demikian ia akan tetap mengirim Tweets.
Sumber:
http://www.dw.de/perang-gaza-di-media-sosial/a-16397603