A.
Pengertian
analisis pendapatan nasional dengan perekonomian tertutup sederhana dua sektor
Produk
nasional Neto – Pajak tak langsung + subsidi. Jumlah ini yang diterima faktor
produksi yang dimiliki penduduk suatu Negara. Pendapatan nasional dengan
perekoni=omian tertutup sederhana dua sektor merupakan penjumlahan dari lima
hal, yaitu:
a.
Upah atau gaji yang diterima buruh atau
karyawan
b.
Pendapatan dari seseorang yang melakukan
bisnis individu (bukan perusahaan)
c.
Keuntungan perusahaan
d.
Pendapatan bunga selisih dari perusahaan
e.
Pendapatan sewa
B.
Model
Analisis dengan Variabel Investasi dan Tabungan
Pengeluaran
yang akan digunakan untuk memproduksi barang dan jasa yang lebih banyak. Tujuan
dari pelaksanaan dari model ini adalah mencari keuntungan dikemudian hari
melalui pengoperasian mesin dan pabrik.
Analisis
keuangan pemerintah mencakup 4 aspek, yaitu:
1.
Operasi keuangan pemerintah dalam hubungan
dengan defisit/surplus anggaran dan sumber – sumber pembiayaannya.
2.
Dampak operasi keuangan pemerintah terhadap
kegiatan sektor riil melalui pengaruhnya terhadap pengeluaran konsumsi dan
pembentukan modal tetap domestik bruto (PMTDB) pemerintah.
3.
Dampak rupiah operasi keuangan pemerintah atau
pengaruh operasi keuangan pemerintah terhadap ekspansi bersih pada jumlah uang
yang beredar.
4.
Dampak Valuta Asing operasi keuangan
pemerintah atau pengaruh operasi keuangan pemerintah terhadap aliran devisa
masuk bersih.
Terdapat
sumber data untuk memperkirakan Investasi dan Tabungan Nasional, yaitu :
a.
data Produk Domestik Bruto atas dasar harga
berlaku menurut penggunaan [lihat tabel III dan III.1]
b.
Neraca Arus Dana yang digunakan oleh tim
gabungan B.P.S., Bank Indonesia, dan Departemen Keuangan.
Dalam
menganalisis pertumbuhan Produk Domestik Bruto terlihat adanya kecenderungan
untuk lebih menggunakan data Produk Domestik Bruto menurut penggunaan. Kalau
kita menganggap bahwa perkiraan Investasi dan Tabungan Nasional Bruto yang
dihasilkan oleh Tim Gabungan B.P.S., Bank Indonesia, dan Departemen Keuangan
lebih mendekati kebenaran, maka data statistik Produk Domestik Bruto menurut
penggunaan yang dipublikasikan oleh B.P.S. perlu diperbaiki.
C. Angka
Pengganda (Multiplier)
Multiplier atau angka pengganda adalah hubungan kausal antara
variabel tertentu dengan variabel pendapatan nasional. Jika multiplier tersebut
mempunyai angka tinggi, maka perubahan yang terjadi pada variabel tersebut akan
mempengaruhi tingkat pendapatan nasional dan sebaliknya. Perubahan pendapatan
nasional itu ditunjukan oleh suatu angka pelipat yang disebut dengan koefisien
multiplier.
Syarat-syarat
agar kenaikan pendapatan nasional berlipat ganda jika dibandingkan dengan
bertambahnya investasi adalah sebagai berikut :
1.
Jika penerima pendapatan itu
segera membelanjakan kembali uang yang diterima.
2.
Jika uang yang diterima itu
dibelanjakan untuk produksi dalam negeri. Jika dibelanjakan untuk produk luar
negeri, maka proses penambahan pendapatan akan terjadi di luar negeri. Proses
pemindahan keluar negeri ini disebut kebocoran (Leakage).
3.
Proporsi tambahan pendapatan yang
dibelanjakan kembali tetap.
Pendapatan
nasional berubah sebagai akibat dari perubahan nilai komponen sebagai berikut :
·
Investasi (I).
·
Comsumsi (C).
·
Pengeluaran Pemerintah (G).
·
Expor & Impor (X/M).
D.
Hubungan antara pertumbuhan
ekonomi, inflasi dan pengangguran
Salah Satu masalah jangka pendek dalam ekonomi yaitu inflasi, pengangguran
dan neraca pembayaran. Inflasi (inflation) adalah gejala yang menunjukkan
kenaikan tingkat harga umum yang berlangsung terus menerus.
Ada tiga
jenis inflasi yaitu:
1.
inflasi tarikan permintaan
(demand-pull inflation)
2.
inflasi desakan biaya (cost-push inflation)
3.
inflasi karena pengaruh impor
(imported inflation).
Tingkat inflasi yang terjadi dalam suatu negara merupakan salah
satu ukuran untuk mengukur baik buruknya masalah ekonomi yang dihadapi suatu
negara. Bagi negara yang perekonomiannya baik, tingkat inflasi yang terjadi
berkisar antara 2 sampai 4 persen per tahun.
Tingkat inflasi yang berkisar antara 2 sampai 4 persen dikatakan tingkat inflasi yang rendah. Selanjut tingkat inflasi yang berkisar antara 7 sampai 10 persen dikatakan inflasi yang tinggi.
Didasarkan pada fakta itulah A.W. Phillips mengamati hubungan antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran. Dari hasil pengamatannya, ternyata ada hubungan yang erat antara inflasi dengan tingkat pengangguran, dalam arti jika inflasi tinggi, maka pengangguran akan rendah. Hasil pengamatan Phillips ini dikenal dengan kurva Phillip.
Tingkat inflasi yang berkisar antara 2 sampai 4 persen dikatakan tingkat inflasi yang rendah. Selanjut tingkat inflasi yang berkisar antara 7 sampai 10 persen dikatakan inflasi yang tinggi.
Didasarkan pada fakta itulah A.W. Phillips mengamati hubungan antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran. Dari hasil pengamatannya, ternyata ada hubungan yang erat antara inflasi dengan tingkat pengangguran, dalam arti jika inflasi tinggi, maka pengangguran akan rendah. Hasil pengamatan Phillips ini dikenal dengan kurva Phillip.
Kurva
Phillips untuk Indonesia :
A.W. Phillips menggambarkan bagaimana sebaran hubungan antara
inflasi dengan tingkat pengangguran didasarkan pada asumsi bahwa inflasi
merupakan cerminan dari kenaikan permintaan agregat. Dengan naiknya permintaan
agregat, maka sesuai dengan teori permintaan, jika permintaan naik maka harga
akan naik. Dengan tingginya harga (inflasi) maka untuk memenuhi permintaan
tersebut produsen meningkatkan kapasitas produksinya dengan menambah tenaga
kerja (tenaga kerja merupakan satu-satunya input yang dapat meningkatkan
output). Akibat dari peningkatan permintaan tenaga kerja maka dengan naiknya
harga-harga (inflasi) maka, pengangguran berkurang.
Menggunakan pendekatan A.W.Phillips dengan menghubungkan antara pengangguran dengan tingkat inflasi untuk kasus Indonesia kurang tepat. Hal ini didasarkan pada hasil analisis tingkat pengangguran dan inflasi di Indonesia dari tahun 1980 hingga 2005, ternyata secara statistik maupun grafis tidak ada pengaruh yang signifikan antara inflasi dengan tingkat pengangguran.
Menggunakan pendekatan A.W.Phillips dengan menghubungkan antara pengangguran dengan tingkat inflasi untuk kasus Indonesia kurang tepat. Hal ini didasarkan pada hasil analisis tingkat pengangguran dan inflasi di Indonesia dari tahun 1980 hingga 2005, ternyata secara statistik maupun grafis tidak ada pengaruh yang signifikan antara inflasi dengan tingkat pengangguran.
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar